Senin, 12 Juni 2017

Integrasi Tasawuf dan Sains

            Integrasi Tasawuf dan Sains


 Disampaikan pada mata kuliah akhlak     tasawuf pada hari senin,12 juni 2017.          Prodi Fisika Fakultas Sains dan                        Teknologi Sumatera Utara
                                2017


               Nama      :   Irmawati Koto
                  Nim      :   0705163048




                               Bab II
                       PEMBAHASAN


A.  Integrasi dalam Sejarah Islam

Dalam sejarah Islam, ditemukan seorang ahli astronomi, biologi, matematika dan arsitektur yang mampu dalam bidang ilmu-ilmu keislaman seperti tauhid, fikih, tafsir, hadis, dan tasawuf. Meskipun berprofesi sebagai saintis dalam bidang ilmu-ilmu kealaman, para pemikir muslim klasik menempuh pola hidup sufistik, dan kajian-kajian ilmiah mereka diarahkan kepada pencapaian tujuan-tujuan religius dan spiritual.

Para filsuf dari mazhab Peripatetik merupakan pemikir muslim yang berhasil mengintegrasikan filsafat Yunani dengan ajaran Islam yang bersumber kepada Al-qur’an dan hadis, lantaran tema-tema filsafat Yunani diislamisasikan dan disesuaikan dengan paradigma Islam. Mereka mampu menguasai berbagai disiplin ilmu yang terdiri atas ilmu-ilmu rasional dan kewahyuan, sehingga integrasi menjadi sangat mudah dilakukan. Al-Jahiz (w. 869) adalah ahli dalam bidang sastra Arab, biologi, zoologi, sejarah, filsafat, psikologi, teologi dan politik. Al-Kindi (w. 873 M) menguasai seluruh cabang filsafat seperti metafisika, etika, logika, psikologi, kedokteran, farmakologi, matematika, astrologi, optik, zoologi, dan meteorologi.

Selain dari mazhab Peripatetik, sejarah Islam menyebutkan keberadaan para filsuf dari mazhab Isryraqiyah dan mazhab Hikmah al-Muta’aliyah yang sukses mengintegrasikan ilmu-ilmu rasional dan kewahyuan. Diantara mereka adalah Suhrawardi (w. 1191) yang dikenal ahli filsafat, tasawuf, zoroastrianisme, dan platonisme. Nashr al-Din al-Thusi (w. 1274) merupakan pakar dalam bidang astronomi, biologi, kimia, matematika, filsafat, fisika, teologi, tasawuf, dan hukum Islam.

Dapat disimpulkan bahwa mereka sukses mengintegrasikan antara dua jenis ilmu tersebut, dan mengintegrasikan keduanya dengan keyakinan dan perilaku hidup mereka sehari-hari.


B.  Integrasi dalam Ranah Ontologi

Istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani, ont yang bermakna keberadaan, dan logos yang bermakna teori. Sedangkan dalam bahasa Latin disebut ontologia. Ontologi merupakan bagian dari metafisika yang merupakan bagian dari filsafat, dan membahas teori tentang keberadaan seperti makna keberadaan dan karakteristik esensial keberadaan..

Menurut Ja’far (105:2016), Istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani, ont yang bermakna keberadaan, dan logos yang bermakna teori, sedangkan dalam bahasa Latin disebut ontologia, sehingga ontologi bermakna teori keberadaan sebagaimana ilmu tentang esensi segala sesuatu. Dengan demikian, ontologi adalah ilmu tentang teori keberadaan, dan istilah ontologi ditujukan kepada pembahasan tentang objek kajian ilmu.
Berbeda dari saintis Barat sekuler, para filsuf Muslim dan sufi berpendapat bahwa ada hubungan erat antara alam dengan Allah Swt. Menurut Ibn ‘Arabi (w. 1240), alam diciptakan Allah Swt. melalui proses tajalli (penampakan diri)-Nya pada alam empiris yang majemuk. Tajalli Allah Swt. mengambil dua bentuk: tajalli dzati dalam bentuk penciptaan potensi; dan tajalli syuhudi dalam bentuk penampakan diri dalam citra alam semesta. Teori Ibn ‘Arabi tentang alam didasari oleh doktrinnya tentang kesatuan wujud (wahdat al-wujud) dan tajalli. Dari perspektif Ibn ‘Arabi, alam merupakan manifestasi sifat-sifat Allah Swt. dan cermin bagi-Nya. Saintis Muslim sebagai peneliti alam empirik (terutama dunia mineral, tumbuhan, binatang, dan manusia) harus menyadari bahwa alam merupakan tanda-tanda keberadaan dan kekuasaan-Nya, sehingga penelitian terhadap alam diharapkan dapat menumbuhkan dan memperkokoh keimanan terhadap-Nya, bukan menjauhkan manusia dari-Nya sebagaimana ditemukan dalam banyak teori ilmuwan-ilmuwan Barat sekular.


C.  Integrasi dalam Ranah Epistemologi

Istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme yang bermakna pengetahuan, dan logos yang bermakna ilmu atau eksplanasi, sehingga epistemologi berarti teori ilmu pengetahuan.

Menurut Ja’far (107:2016), Istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme yang bermakna pengetahuan, dan logos yang bermakna ilmuatau eksplanasi, sehingga epistemologi berarti teori pengetahuan.

Epistemologi dimaknai sebagai cabang filsafat yang membahas pengetahuan dan pembenaran, dan kajian pokok epistemologi adalah makna pengetahuan, dan hal-hal yang dapat diketahui. Runes menjelaskan bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang menelusuri asal [sumber], struktur, metode, dan validitas ilmu pengetahuan. Dengan demikian, epistemologi adalah ilmu tentang cara mendapatkan ilmu.

Kajian-kajian ilmu-ilmu alam mengandalkan metode observasi dan eksperimen yang disebut dalam epitemologi Islam sebagai metode tajribi, sedangkan kajian tasawuf mengandalkan metode ‘irfani yang biasa disebut metode tazkiyah al-nafs.

Dari perspektif Islam, kesucian jiwa manusia menjadi syarat utama untuk memperoleh ilmu secara langsung dari sumber asalnya, yaitu Allah Swt. yang diketahui memiliki sifat al-‘Alim.


D.  Integrasi dalam Ranah Aksiologi

Istilah aksiologi berasal dari bahasa Yunani, axios yang bermakna nilai, dan logos yang berarti teori. Menurut Bunnu dan Yu, aksiologi adalah studi umum tentang nilai dan penilaian, termasuk makna, karakteristik, dan klasifikasi nilai, serta dasar dan karakter pertimbangan nilai.

Menurut Ja’far (109:2016), Istilah aksiologi berasal dari bahasa Yunani, axios yang bermakna nilai, dan logos yang berarti teori. Aksiologi bermakna teori nilai, invetigasi terhadap asal, kriteria, dan status metafisik dari nilai tersebut. Menurut Bunnin dan Yu, aksiologi adalah studi umum tentang nilai dan penilaian, termasuk makna, karakteristik, dan klasifikasi nilai, serta dasar dan karakter pertimbangan nilai.

Sebab itu, aksiologi disebut dengan teori nilai. Aksiologi juga dimaknai sebagai studi tentang manfaat akhir dari segala sesuatu. Jadi, aksiologi membahas tentang nilai kegunaan ilmu, tujuan pencarian dan pengembangan ilmu, kaitan antara penggunaan dan pengembangan ilmu dengan kaedah moral, serta tanggung jawab sosial ilmuwan. Kajian aksiologi lebih ditujukan kepada pembahasan manfaat dan kegunaan ilmu, dan etika akademik ilmuwan.

Dari aspek etika akademik, nilai-nilai luhur tasawus dapat menjadi landasan etis seorang ilmuwan dalam pengembangan sains dan teknologi.

Konsep al-maqamat dan al-ahwal dapat menjadi semacam etika profesi seorang saintis Muslim, sebagaimana ilmuwan Muslim klasik, harus menampilkan kehidupan sufistik seperti sikap zuhud, warak, sabar, tawakkal, cinta, fakir, dan ridha dalam menjalankan kegiatan akademik maupun dalam kehidupan sosialnya. Dengan demikian, saintis Muslim masa depan dituntut untuk mengail kearifan dalam ajaran tasawuf, dan dapat menginternalisasikannya dlam kehidupan akademik dan sosialnya.



                             BAB III                                                          PENUTUP


Kesimpulan


Kesimpulan dari seluruh penjelasan di atas ialah bahwa ilmu rasional dengan ilmu-ilmu keislaman sangat berkaitan erat dan itu dituangkan dalam BAB 4 yaitu integrasi tasawuf dalam segala aspek.dijelaskan  lebih banyak menjelaskan tentang konsep menjadi saintis ilmuwan muslim dengan menggunakan konsep sufistik, al – maqamat dan al – ahwal , menjelaskan integrasi dalam segala ranah. Menurut saya buku  bapak ja’far sangat lengkap dalam menjabarkan Integrasi Tasawuf dengan Sains.


Daftar pustaka:
1.    Ja’far. 2016. Gerbang Tasawuf. Medan: Perdana Publishing

Minggu, 11 Juni 2017

Refisi Al-muraqabah, al-khauf, al-raja', al-syawq

    Al-Maqamat,Al-Muraqabah,Al-Khauf,
                     Al-Raja',Al-syawq

 Disampaikan pada mata kuliah akhlak.              tasawuf, Senin 12 juni 2017


                Nama   :  Irmawati Koto
                   Nim   : 0705163048

      Prodi Fisika Fakultas Sains dan              Teknologi Universitas Islam Negeri.                      Sumatera Utara 2017




                           

                                Bab I
                     PENDAHULUAN


 Maqamat dan AhwMaqamat dan Ahwal adalah dua kata kunci yang menjadi icon untuk dapat mengakses lebih khusus ke dalam inti dari sufisme, yang pertama berupa tahapan-tahapan yang mesti dilalui oleh calon sufi untuk mencapai tujuan tertinggi, berada sedekat-dekatnya dengan Tuhan.

Ahwal merupakan pengalaman mental sufi ketika menjelajah maqamat. Dua kata ‘maqamat dan ahwal’ dapat diibaratkan sebagai dua sisi mata uang yang selalu berpasangan. Namun urutannya tidak selalu sama antara sufi satu dengan yang lainnya.

Pengertian maqam dalam pandangan al-Sarraj (w. 378 H) yaitu kedudukan atau tingkatan seorang hamba dihadapan Allah yang diperoleh melalui serangkaian pengabdian (ibadah), kesungguhan melawan hawa nafsu dan penyakit-penyakit hati (mujahadah), latihan-latihan spiritual (riyadhah) dan mengarahkan segenap jiwa raga semata-mata kepada Allah.
Ibn Qayyim al-Jauziyah (w. 750 H)

Jika kembali kepada sejarah, sebenarnya konsep tentang Maqamat dan ahwal telah ada pada masa-masa awal Islam. Tokoh pertama yang berbicara tentang konsep ini adalah Ali Ibn Abi Thalib. Ketika ia ditanya tentang iman ia menjawab bahwa iman dibangun atas empat hal: kesabaran, keyakinan, keadilan dan perjuangan.


                              Bab II
                      PEMBAHASAN


Al-Maqam Lainnya.

Sebagian sufi menilai bahwa setelah mencapai maqam rida, seorang salik masih dapat mencapai maqaom seperti makrifat (al-makrifah), dan menegaskan bahwa al-ridha bukan maqom tertinggi. Al-Kalabazi mengatakan bahwa sebagian sufi membagi makrifat menjadi dua: al-makrifat haq yang berarti penegasan keesaan Allah atas sifat-sifat yang dikemukakanNya, dan makrifat haqiqah yang bermakna makrifat yang tidak bias dicapai dengan sarana apapun, sebab sifatNya tidak dapat ditembus dan keTuhananNya tidak dapat dipahami.

Ø Al-Qusyairi menjelaskan bahwa maksud para sufi dari istilah makrifat adalah “sifat dari orang-orang yang mengenal Allah Swt.

Ø Nashral al-Din al-Thusi menjelaskan bahwa makrifat adalah derajat tertinggi pengetahuan tentang Allah Swt.

Macam-Macam Hal

Sebagaimana halnya dengan maqam, hal juga terdiri dari beberapa macam. Namun, konsep pembagian atau formulasi serta jumlah hal berbeda-beda dikalangan ahli sufi. Diantara macam-macam hal yaitu; muraqabah, khauf, raja’, syauq, Mahabbah, tuma’ninah, musyahadah, yaqin.
Muraqabah

1.Al-Muraqabah

Secara etimologi muraqabah berarti menjaga atau mengamati tujuan. Adapun secara terminologi muraqabah adalah salah satu sikap mental yang mengandung pengertian adanya kesadaran diri bahwa ia selalu berhadapan dengan Allah dan merasa diri diawasi oleh penciptanya.

Pengertian tersebut sejalan dengan pendangan al-Qusyairi bahwa muraqabah adalah keadaan mawas diri kepada Allah dan mawas diri juga berarti adanya kesadaran sang hamba bahwa Allah senantiasa melihat dirinya.


2. Khauf(Takut)

Menurut al-Qusyairi, takut kepada Allah berarti takut terhadap hukumnya.

Al-khauf adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdiannya atau rasa takut dan khawatir jangan sampai Allah merasa tidak senang kepadanya. Ibn Qayyim memandang khauf sebagai perasaan bersalah dalam setiap tarikan nafas. Perasaan bersalah dan adanya ketakutan dalam hati inilah yang menyebabkan orang lari menuju Allah.

3.Raja’(Harap)

Raja’ bermakna harapan. Al-Gazali memandang raja’ sebagai senangnya hati karena menunggu sang kekasih datang kepadanya. Sedangkan menurut al-Qusyairi raja’ adalah keterpautan hati kepada sesuatu yang diinginkannya terjadi di masa akan datang. Sementara itu, Abu Bakar al-Warraq menerangkan bahwa raja’ adalah kesenangan dari Allah bagi hati orang-orang yang takut, jika tidak karena itu akan binasalah diri mereka dan hilanglah akal mereka. Dari beberapa pendapat yang dikemukakan ahli sufi diatas dapat dipahami bahwa raja’ adalah sikap optimis dalam memperoleh karunia dan nikmat Allah SWT yang disediakan bagi hambaNya yang saleh dan dalam dirinya timbul rasa optimis yang besar untuk melakukan berbagai amal terpuji dan menjauhi perbuatan yang buruk dan keji.

4.Syawq(Rindu)

Syauq bermakna lepasnya jiwa dan bergeloranya cinta. Para ahli sufi menyatakan bahwa syauq merupakan bagian dari mahabbah. Sehingga pengertian syauq dalam tasawuf adalah suasana kejiwaan yang menyertai mahabbah. Rasa rindu ini memancar dari kalbu karena gelora cinta yang murni. Untuk menimbulkan rasa rindu kepada Allah maka seorang salik terlebih dahulu harus memiliki pengetahuan dan pengenalan terhadap Allah. Jika pengetahuan dan pengenalan terhadap Allah telah mendalam, maka hal tersebut akan menimbulkan rasa senang dan gairah.

Rasa senang akan menimbulkan cinta dan akan tumbuh rasa rindu, rasa rindu untuk selalu bertemu dan bersama Allah.


                           

                               Bab III
                            PENUTUP



KESIMPULAN


Perbedaan pendapat para sufi mengenai pengertian ahwal secara luas bahwa ahwal merupakan pengalaman mental sufi ketika menjelajah maqamat. Dua kata ‘maqamat dan ahwal’ dapat diibaratkan sebagai dua sisi mata uang yang selalu berpasangan. Namun urutannya tidak selalu sama antara sufi satu dengan yang lainnya. Perlu dipertegas disini bahwa menurut al-Sarraj, hal adalah anugerah (mawahibah) Allah yang diberikan kepada sang hamba sebagai hasil dari usaha dan perjuangannya di dalam menempuh maqamat. Maqam diusahakan, sementara hal tidak. Maqam sifatnya tetap dan permanen, sedangkan hal tidak tetap, datang dan pergi.

Maqom lainnya yaitu makrifat yang bermakna derajat tertinggi pengetahuan/sifat orang-orang yang mengenal Allah.

Dalam macamnya, terdapat beberapa macam Maqam yaitu Maqam Taubat, Maqam Wara’, Maqam Zuhud, Maqam Fakir, Maqam Taqakal, Maqam Ridho begitu pula Ahwal yang diantaranya : Muraqabah, Khauf, Raja’, Shauq, Mahabbah, Tuma’ninah, Musyahadah, Yaqin yang dimana pada setiap macamnya memiliki tingkatan masing-masing



Referensi
Kartanegara, Mulyadi. 2006. Menyelami Lubuk Tasawuf.  Jakarta: Erlangga.

Jafar. 2016.Gerbang tasawuf. Perdana Publishing

Ridho dan maqam lainnya

             Ridho dan Maqam Lainnya

     Disampaikan pada materi akhlak                     tasawuf, 12 juni 2017

                  Nama   :  Irmawati Koto
                  Nim      :  0705163048



     

                                 Bab I
                       PENDAHULUAN



Maqamat dan Ahwal adalah dua kata kunci yang menjadi icon untuk dapat mengakses lebih khusus ke dalam inti dari sufisme, yang pertama berupa tahapan-tahapan yang mesti dilalui oleh calon sufi untuk mencapai tujuan tertinggi, berada sedekat-dekatnya dengan Tuhan.


Ahwal merupakan pengalaman mental sufi ketika menjelajah maqamat. Dua kata ‘maqamat dan ahwal’ dapat diibaratkan sebagai dua sisi mata uang yang selalu berpasangan. Namun urutannya tidak selalu sama antara sufi satu dengan yang lainnya.


Pengertian maqam dalam pandangan al-Sarraj (w. 378 H) yaitu kedudukan atau tingkatan seorang hamba dihadapan Allah yang diperoleh melalui serangkaian pengabdian (ibadah), kesungguhan melawan hawa nafsu dan penyakit-penyakit hati (mujahadah), latihan-latihan spiritual (riyadhah) dan mengarahkan segenap jiwa raga semata-mata kepada Allah.
Ibn Qayyim al-Jauziyah (w. 750 H) berpendapat bahwa Maqamat terbagi kepada tiga tahapan. Yang pertama adalah kesadaran (yaqzah), kedua adalah tafkir (berpikir) dan yang ketiga adalah musyahadah.


Sedangkan menurut al-Sarraj Maqamat terdiri dari tujuh tingkatan yaitu taubat, wara’, zuhd, faqr, shabr, tawakkal dan ridha.[4]
Al Ghazali dalam kitab Ihya Ulumudin membuat sistematika maqamat dengan taubat – sabar – faqir – zuhud – tawakal – mahabah – ma’rifat dan ridha.
At Thusi menjelaskan maqamat sebagai berikut : Al Taubat – Wara – Zuhud – faqir – sabar – ridha – tawakal – ma’rifat.
Al Kalabadhi (w. 990/5) didalam kitabnya “Al taaruf Li Madzhab Ahl Tasawuf” menjelaskan ada sekitar 10 maqamat : Taubat – zuhud – sabar – faqir – dipercaya – tawadhu (rendah hati) – tawakal – ridho – mahabbah (cinta) -dan ma’rifat.
Jika kembali kepada sejarah, sebenarnya konsep tentang Maqamat dan ahwal telah ada pada masa-masa awal Islam. Tokoh pertama yang berbicara tentang konsep ini adalah Ali Ibn Abi Thalib. Ketika ia ditanya tentang iman ia menjawab bahwa iman dibangun atas empat hal: kesabaran, keyakinan, keadilan dan perjuangan.


                               Bab II.                                                       PEMBAHASAN


1.Maqam Ridho

Setelah mencapai maqam tawakkal, nasib hidup mereka bulat-bulat diserahkan pada pemeliharaan dan rahmat Alloh, meniggalkan segala keinginan terhadap apa saja selain Tuhan, maka harus segera diikuti menata hatinya untuk mencapai maqam. Maqam ridlo adalah ajaran menanggapi dan mengubah segala bentuk penderitaan, kesengsaraan, dan kesusahan, menjadi kegembiraan dan kenikmatan. Yakni sebagaimana di katakana imam ghozali, rela menerima apa saja.

Kata rida berasal dari kata radhiya, yardha, ridhwanan, yang artinya “senang, puas, memilih, persetujuan, menyenangkan, dan menerima”. Dalam kamus bahasa Indonesia, rida adalah “rela, suka, senang hati, perkenan, dan rahmat”

Penegasan Rida (al-ridha) menurut para sufi dari mazhab sunni :
Ø Ibn Khatib mengatakan bahwa “rida adalah tenangnya hati dengan ketetapan (takdir) Allah Swt dan keserasian hati dengan sesuatu yang dijadikan Allah Swt.
Ø Al-Hujwiri, rida terbagi menjadi 2 macam: rida Allah terhadap hambanya; dan rida hamba terhadap Allah Swt.
Ø Harits al-Muhasibi, berkata rida adalah ketentraman hati atas ketetapan takdir.
Ø Dzu al-Nun al-Mishri, berkata “rida adalah ketenangan hati diatas takdir.
Ø Ibn Atha, berkata “rida adalah penghargaan hati atas pilihan Allah untuk hambaNya sebab pilihanNya itu adalah pilihan terbaik.
Ø Abu ‘Ali al-Daqaq, berkata “rida adalah tidak menentang hokum dan keputusan Allah Swt.
Ø Dzun al-Nun al-Mishri, berkata “tanda-tanda tawakkal ada 3, yakni meninggalkan usaha sebelum keputusan, menghilangkan kepahitan sebelum keputusan, dan cinta apabila mendapakan cobaan. Dll.

Menurut Dzun Nun al-Mishri, Ridho itu ialah menerima kada dan kadar Allah dengan kerelaan hati. Dzun Nun al-Mishri mengemukakan tanda-tanda orang yang sudah ridho ada tiga yaitu:
1.      Meninggalkan usaha sebelum terjadi ketentuan.

2.      Lenyapnya resah gelisah sesudah terjadi ketentuan.

3.      Cinta yang bergelora dikala turunnya malapetaka.
Pengertian ridho ini merupakan perpaduan antara shobar dan tawakkal sehingga melahirkan sikap mental yang merasa tenang dan senang menerima segala situasi dan kondisi. Selanjutnya dalam perjalanan dari satu maqom ke maqom lainnya tentunya sufi banyak menghadapi hambatan, rintangan dan godaan. Maka untuk mencapai tujuannya setiap calon sufi harus melakukan perjuangan dan pengorbanan baik yang bersifat zahiriyah maupun bhatiniyah. Perjuangan dan pengorbanan ini disebut dengan istilah Mujahadah.

Mengenai maqam ridlo ini dinukilkan macam-macam pemahaman terhadap maqam ridlo sesuai dengan Misalnya Ruwaim mengatakan : Ridlo itu, itu seandainya Alloh menjadikan neraka jahannam di kananya, tidak akan meminta untuk dipindah ke kirinya. Ibnu Khafif mengatakan tentang ridlo adalah : “Kerelaan hati menerima ketentuan tuhan, dan persetujuan hatinya terhadap yang diridlai Alloh untuknya”. Abu Bakar Thahir mengatakan : “Ridlo itu hilangnya ketidak senangan dari hatinya, sehingga yang tinggal kegembiraan dan kesenangan (sukacita) dalam hatinya”.Al-Nuri mengatakan : ”Ridlo itu kegirangan hati menanggapi kepedihan ketentuan Tuhan”. Rabi’ah al-Adawiyah tentang ridlo: ”Jika dia telah telah gembira menerima musibah seperti kegembiraanya menerima nikmat”.

Dengan mencermati ungkapan-ungkapan tentang maqam-maqam tersebut, dan sebenarnya masih banyak lagi maqam-maqam selain yang tujuh di atas, jelas sekali maqam-maqam ini erat dengan laku (mujahadah) pembinaan moral sikap hidup dan mentalitas para sufi. Bahwa kunci segala bentuk laku korup dan tindak kekerasan dan kejahatan adalah nafsu tamak dan serakah memperebutkan kedudukan dan keduniaan. Maka langkah menjahui keduniaan dan dan mengutamakan tuhan langsung atau tidak langsung pasti merupakan langkah yang jitu bagi pembinaan akhlak mulia.

Hanya saja sebagaimana telah disinggung cacat ajaran tasawuf pembinaan kelurusan pengalaman islam adalah eskrem kerohanian dan yang pada dasarnya berwatak eskapisme (asketik). Tasawuf mengubah citra islam sebagai agama jihad untuk membina masyarakat dan Negara yang baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur; menjadi berwatak egois kerohanian. Menciptakan orang-orang yang suka merenung dan berzikir yang merindukan kebahagian pribadi dalam penghayatan ma’rifat pada Tuhanya.
Metode mawas diri atau mengaca diri seperti yang digalakkan oleh para sufi semisal al-Ghozali, memang merupakan sarana atau tangga yang amat jitu untuk menemukan jatidiri dan kesadaran rahmat dan keagungan Alloh SWT. Bisa dihayati dengan terang-benderang Dali al-Ghozali pada halaman pertama kitab ihya’ Ulum al-Din juz III “man arofa nafsahu faqad ‘arofa robbahu” yakni barang siapa telah mengenal jati dirinya, tentu akan lebih mengenal dan menghayati keagungan Tuhanya.


2.Al-Maqam Lainnya.

Sebagian sufi menilai bahwa setelah mencapai maqam rida, seorang salik masih dapat mencapai maqaom seperti makrifat (al-makrifah), dan menegaskan bahwa al-ridha bukan maqom tertinggi. Al-Kalabazi mengatakan bahwa sebagian sufi membagi makrifat menjadi dua: al-makrifat haq yang berarti penegasan keesaan Allah atas sifat-sifat yang dikemukakanNya, dan makrifat haqiqah yang bermakna makrifat yang tidak bias dicapai dengan sarana apapun, sebab sifatNya tidak dapat ditembus dan keTuhananNya tidak dapat dipahami.

Ø Al-Qusyairi menjelaskan bahwa maksud para sufi dari istilah makrifat adalah “sifat dari orang-orang yang mengenal Allah Swt.

Ø Nashral al-Din al-Thusi menjelaskan bahwa makrifat adalah derajat tertinggi pengetahuan tentang Allah Swt.


                               Bab III
                             PENUTUP


Perbedaan pendapat para sufi mengenai pengertian ahwal secara luas bahwa ahwal merupakan pengalaman mental sufi ketika menjelajah maqamat. Dua kata ‘maqamat dan ahwal’ dapat diibaratkan sebagai dua sisi mata uang yang selalu berpasangan. Namun urutannya tidak selalu sama antara sufi satu dengan yang lainnya. Perlu dipertegas disini bahwa menurut al-Sarraj, hal adalah anugerah (mawahibah) Allah yang diberikan kepada sang hamba sebagai hasil dari usaha dan perjuangannya di dalam menempuh maqamat. Maqam diusahakan, sementara hal tidak. Maqam sifatnya tetap dan permanen, sedangkan hal tidak tetap, datang dan pergi.

Cinta adalah maqom sebelum ridho yang berarti cinta hanya kepada Allah dengan melakukan segala perintahNya dan menjauhi laranganNya. Ridho adalah perpaduan dari sikap mahabbah dan sabar, menerima dengan lapang dada dan hati terbuka apa saja yang  dating dari Allah, baik dalam menerima serta mengamalkan ketentuan-ketentuan agama maupun yang berkenaan dengan masalah nasib dirinya. Maqom lainnya yaitu makrifat yang bermakna derajat tertinggi pengetahuan/sifat orang-orang yang mengenal Allah.

Referensi

Kadar. 2016.Gerbang Tasawuf. Perdana Publising.

Kartanegara, Mulyadi. 2006. Menyelami Lubuk Tasawuf.  Jakarta: Erlangga.





Kamis, 08 Juni 2017

Tawakkal dan Cinta

Tawakkal dan Cinta




Disampaikan pada materi akhlak tasawuf, 09 juni 2017 

Nama  :  Irmawati Koto
 Nim   : 0705163048
Prodi.  :  Fisika 2 








BAB I
PENDAHULUAN



Latar Belakang

Maqamat dalam ilmu tasawuf berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa yang telah diusahakannya.Disamping itu maqamat berarti jalan yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah.Susunan al-maqamat menurut al-Ghazali adalah tobat,sabar,fakir,zuhud,tawakal,cinta,dan rida.

Ketika kita memfokuskan pandangan kepada semua amal hati,sebenarnya semua itu adalah dasar dan materi iman yang mencuat darinya,maka kita akan menemukan bahwa tidak ada makam yang paling komprehensif dengan cakupan atas semua ilmu dan amal sebuah hati daripada tawakal kepada Allah SWT.Diantara semua amal tersebut Tawakal adalah salah sesuatu yang paling kokoh dan diantara kedudukan-kedudukan itu,dia adalah yang paling mulia.

Tawakkal adalah suatu kondisi yang menggabungkan antara ilmu dan iman.Tidak mungkin seorang hamba tidak membutuhkan tawakal,baik tawakal kepada Allah yang ditangan-Nyakekuasaan atas segala sesuatu ,atau tawakkal kepada sesama makhluk yang lemah seperti dirinya.Tidak memiliki kuasa memberikan manfaat atau bahaya.Tidak memiliki kekuasaan untuk mematikan,menghidupkan,dan membangkitkan kembali yang telah mati.Itulah sebuah maqam yang sama sekali tidak bisa diabaikan begitu saja oleh oleh setiap manusia selama-lamanya.

Sedangkan makna cinta menurut kaum sufi adalah masuknya sifat-sifat kekasih pada sifat-sifat yang mencintai.Berikut akan dijelaskan apa itu Tawakal dan Cinta di dalam ilmu tasawuf.





BAB II
PEMBAHASAN
TAWAKAL DAN CINTA

1.Tawakal (al-tawakkul)
            

 Berasal dari bahasa Arab,wakila,yakilu,wakilan yang berarti” mempercayakan,memberi,
membuang urusan,bersandar,dan bergantung,”istilah tawakal disebut dalam al-quran dalam berbagai bentuk sebanyak 70 kali.Dalam bahasa indonesia ,tawakal adalah “pasrah diri kepada Allah:percaya dengan sepenuh hati kepada Allah (dalam penderitaan dan sebagainya),atau sesudah berikhtiar baru berserah kepada Allah .
          
  [1]Dalam karya-karya tasawuf,para sufi telah memberikan penjelasan mengenai makna tawakal.Hamdun al-Qashshar berkata,”tawakkal adalah berpegang teguh kepada Allah Swt.Sahl bin’Abd Allah al-Tustari berkata,”tawakkal adalah melepaskan segala apa yang dikehendaki dengan menyandarkan diri kepada Allah Swt”.Menurut Nashr al-Din al-Thusi ,tawakkal adalah”mempercayakan semua urusan kepada Allah ,dan keyakinan Allah memiliki kearifan dan kekuasaan untuk menjalankan segala urusan sesuai pengaturan-Nya…tawakkal tidak bermakna bahwa seseorang hamba tidak melakukan apapun dengan alasan menyerahkan semua urusan kepada Allah,tetapi tawakkal bermakna bahwa seriap orang harus mempercayai bahwa segala sesuatu selain Allah pasti berasal dari Allah,dan segala sesuatu bekerja sesuai hubungan sebab akibat.

2.Cinta (al-mahabbah)
          
  Menurut al-Ghazali,al-mahabbah adalah al-maqam  sebelum rida.kaum sufi mendasari ajaran mereka tentang cinta dengan Al-quran,hadis,dan atsar.[2]Makna al-mahabbah dalam tasawuf dapat dilihat dari ucapan kaum sufi.Junaid al-baghdadi,misalnya berkata “cinta adalah masuknya sifat-sifat kekasih pada sifat-sifat yang mencintai.”Muhammad bin’Ali al-Kattani berkata “cinta mengutamakannya yang dicintai.”Husni al-Manshur al-Hallaj berkata bahwa”hakikat cinta itu jika kamu berdiri bersama kekasihmu dengan menannggalkan sifat-sifatmu.”Muhammad bin al-Fadhal al-Farawi berkata”cinta itu adalah runtuhnya semua cinta dalam hati kecuali kepada kekasih.”Menurut Ibn Qudammah,tanda cinta kepada Allah Swt.adalah senantiasa berzikir kepada Allah;gemar mengasingkan diri hanya untuk bermunajat kepada-Nya seperti membaca Al-quran dan tahajjud;merasa rugi bila melewatkan tanpa menyebut nama-Nya;dan menyayangi semua hamba Allah mengasihi mereka dan bersikap tegas terhadap musuh-musuh-Nya.






BAB III
PENUTUP



Kesimpulan


Tawakal adalah pasrah diri kepada Allah:percaya dengan sepenuh hati kepada Allah (dalam penderitaan dan sebagainya),atau sesudah berikhtiar baru berserah kepada Allah .Dan makna cinta dalam tasawuf dapat dilihat dari ucapan kaum sufi.Junaid al-baghdadi,misalnya berkata cinta adalah masuknya sifat-sifat kekasih pada sifat-sifat yang mencintai.



DAFTAR PUSTAKA

Anwar,Rosihon.2010.Akhlak Tasawuf.Bandung:CV.Pustaka Setia
Ja’far.2016.Gerbang Tasawuf.Medan:Perdana Publishing






[1] Ja’far,Gerbang Tasawuf (Medan Perdana Publishing,2016),hlm 74-80
[2] Rosihon Anwar,Akhlak Tasawuf(Bandung:CV.Pustaka Setia,2010),hlm 105