Minggu, 11 Juni 2017

Ridho dan maqam lainnya

             Ridho dan Maqam Lainnya

     Disampaikan pada materi akhlak                     tasawuf, 12 juni 2017

                  Nama   :  Irmawati Koto
                  Nim      :  0705163048



     

                                 Bab I
                       PENDAHULUAN



Maqamat dan Ahwal adalah dua kata kunci yang menjadi icon untuk dapat mengakses lebih khusus ke dalam inti dari sufisme, yang pertama berupa tahapan-tahapan yang mesti dilalui oleh calon sufi untuk mencapai tujuan tertinggi, berada sedekat-dekatnya dengan Tuhan.


Ahwal merupakan pengalaman mental sufi ketika menjelajah maqamat. Dua kata ‘maqamat dan ahwal’ dapat diibaratkan sebagai dua sisi mata uang yang selalu berpasangan. Namun urutannya tidak selalu sama antara sufi satu dengan yang lainnya.


Pengertian maqam dalam pandangan al-Sarraj (w. 378 H) yaitu kedudukan atau tingkatan seorang hamba dihadapan Allah yang diperoleh melalui serangkaian pengabdian (ibadah), kesungguhan melawan hawa nafsu dan penyakit-penyakit hati (mujahadah), latihan-latihan spiritual (riyadhah) dan mengarahkan segenap jiwa raga semata-mata kepada Allah.
Ibn Qayyim al-Jauziyah (w. 750 H) berpendapat bahwa Maqamat terbagi kepada tiga tahapan. Yang pertama adalah kesadaran (yaqzah), kedua adalah tafkir (berpikir) dan yang ketiga adalah musyahadah.


Sedangkan menurut al-Sarraj Maqamat terdiri dari tujuh tingkatan yaitu taubat, wara’, zuhd, faqr, shabr, tawakkal dan ridha.[4]
Al Ghazali dalam kitab Ihya Ulumudin membuat sistematika maqamat dengan taubat – sabar – faqir – zuhud – tawakal – mahabah – ma’rifat dan ridha.
At Thusi menjelaskan maqamat sebagai berikut : Al Taubat – Wara – Zuhud – faqir – sabar – ridha – tawakal – ma’rifat.
Al Kalabadhi (w. 990/5) didalam kitabnya “Al taaruf Li Madzhab Ahl Tasawuf” menjelaskan ada sekitar 10 maqamat : Taubat – zuhud – sabar – faqir – dipercaya – tawadhu (rendah hati) – tawakal – ridho – mahabbah (cinta) -dan ma’rifat.
Jika kembali kepada sejarah, sebenarnya konsep tentang Maqamat dan ahwal telah ada pada masa-masa awal Islam. Tokoh pertama yang berbicara tentang konsep ini adalah Ali Ibn Abi Thalib. Ketika ia ditanya tentang iman ia menjawab bahwa iman dibangun atas empat hal: kesabaran, keyakinan, keadilan dan perjuangan.


                               Bab II.                                                       PEMBAHASAN


1.Maqam Ridho

Setelah mencapai maqam tawakkal, nasib hidup mereka bulat-bulat diserahkan pada pemeliharaan dan rahmat Alloh, meniggalkan segala keinginan terhadap apa saja selain Tuhan, maka harus segera diikuti menata hatinya untuk mencapai maqam. Maqam ridlo adalah ajaran menanggapi dan mengubah segala bentuk penderitaan, kesengsaraan, dan kesusahan, menjadi kegembiraan dan kenikmatan. Yakni sebagaimana di katakana imam ghozali, rela menerima apa saja.

Kata rida berasal dari kata radhiya, yardha, ridhwanan, yang artinya “senang, puas, memilih, persetujuan, menyenangkan, dan menerima”. Dalam kamus bahasa Indonesia, rida adalah “rela, suka, senang hati, perkenan, dan rahmat”

Penegasan Rida (al-ridha) menurut para sufi dari mazhab sunni :
Ø Ibn Khatib mengatakan bahwa “rida adalah tenangnya hati dengan ketetapan (takdir) Allah Swt dan keserasian hati dengan sesuatu yang dijadikan Allah Swt.
Ø Al-Hujwiri, rida terbagi menjadi 2 macam: rida Allah terhadap hambanya; dan rida hamba terhadap Allah Swt.
Ø Harits al-Muhasibi, berkata rida adalah ketentraman hati atas ketetapan takdir.
Ø Dzu al-Nun al-Mishri, berkata “rida adalah ketenangan hati diatas takdir.
Ø Ibn Atha, berkata “rida adalah penghargaan hati atas pilihan Allah untuk hambaNya sebab pilihanNya itu adalah pilihan terbaik.
Ø Abu ‘Ali al-Daqaq, berkata “rida adalah tidak menentang hokum dan keputusan Allah Swt.
Ø Dzun al-Nun al-Mishri, berkata “tanda-tanda tawakkal ada 3, yakni meninggalkan usaha sebelum keputusan, menghilangkan kepahitan sebelum keputusan, dan cinta apabila mendapakan cobaan. Dll.

Menurut Dzun Nun al-Mishri, Ridho itu ialah menerima kada dan kadar Allah dengan kerelaan hati. Dzun Nun al-Mishri mengemukakan tanda-tanda orang yang sudah ridho ada tiga yaitu:
1.      Meninggalkan usaha sebelum terjadi ketentuan.

2.      Lenyapnya resah gelisah sesudah terjadi ketentuan.

3.      Cinta yang bergelora dikala turunnya malapetaka.
Pengertian ridho ini merupakan perpaduan antara shobar dan tawakkal sehingga melahirkan sikap mental yang merasa tenang dan senang menerima segala situasi dan kondisi. Selanjutnya dalam perjalanan dari satu maqom ke maqom lainnya tentunya sufi banyak menghadapi hambatan, rintangan dan godaan. Maka untuk mencapai tujuannya setiap calon sufi harus melakukan perjuangan dan pengorbanan baik yang bersifat zahiriyah maupun bhatiniyah. Perjuangan dan pengorbanan ini disebut dengan istilah Mujahadah.

Mengenai maqam ridlo ini dinukilkan macam-macam pemahaman terhadap maqam ridlo sesuai dengan Misalnya Ruwaim mengatakan : Ridlo itu, itu seandainya Alloh menjadikan neraka jahannam di kananya, tidak akan meminta untuk dipindah ke kirinya. Ibnu Khafif mengatakan tentang ridlo adalah : “Kerelaan hati menerima ketentuan tuhan, dan persetujuan hatinya terhadap yang diridlai Alloh untuknya”. Abu Bakar Thahir mengatakan : “Ridlo itu hilangnya ketidak senangan dari hatinya, sehingga yang tinggal kegembiraan dan kesenangan (sukacita) dalam hatinya”.Al-Nuri mengatakan : ”Ridlo itu kegirangan hati menanggapi kepedihan ketentuan Tuhan”. Rabi’ah al-Adawiyah tentang ridlo: ”Jika dia telah telah gembira menerima musibah seperti kegembiraanya menerima nikmat”.

Dengan mencermati ungkapan-ungkapan tentang maqam-maqam tersebut, dan sebenarnya masih banyak lagi maqam-maqam selain yang tujuh di atas, jelas sekali maqam-maqam ini erat dengan laku (mujahadah) pembinaan moral sikap hidup dan mentalitas para sufi. Bahwa kunci segala bentuk laku korup dan tindak kekerasan dan kejahatan adalah nafsu tamak dan serakah memperebutkan kedudukan dan keduniaan. Maka langkah menjahui keduniaan dan dan mengutamakan tuhan langsung atau tidak langsung pasti merupakan langkah yang jitu bagi pembinaan akhlak mulia.

Hanya saja sebagaimana telah disinggung cacat ajaran tasawuf pembinaan kelurusan pengalaman islam adalah eskrem kerohanian dan yang pada dasarnya berwatak eskapisme (asketik). Tasawuf mengubah citra islam sebagai agama jihad untuk membina masyarakat dan Negara yang baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur; menjadi berwatak egois kerohanian. Menciptakan orang-orang yang suka merenung dan berzikir yang merindukan kebahagian pribadi dalam penghayatan ma’rifat pada Tuhanya.
Metode mawas diri atau mengaca diri seperti yang digalakkan oleh para sufi semisal al-Ghozali, memang merupakan sarana atau tangga yang amat jitu untuk menemukan jatidiri dan kesadaran rahmat dan keagungan Alloh SWT. Bisa dihayati dengan terang-benderang Dali al-Ghozali pada halaman pertama kitab ihya’ Ulum al-Din juz III “man arofa nafsahu faqad ‘arofa robbahu” yakni barang siapa telah mengenal jati dirinya, tentu akan lebih mengenal dan menghayati keagungan Tuhanya.


2.Al-Maqam Lainnya.

Sebagian sufi menilai bahwa setelah mencapai maqam rida, seorang salik masih dapat mencapai maqaom seperti makrifat (al-makrifah), dan menegaskan bahwa al-ridha bukan maqom tertinggi. Al-Kalabazi mengatakan bahwa sebagian sufi membagi makrifat menjadi dua: al-makrifat haq yang berarti penegasan keesaan Allah atas sifat-sifat yang dikemukakanNya, dan makrifat haqiqah yang bermakna makrifat yang tidak bias dicapai dengan sarana apapun, sebab sifatNya tidak dapat ditembus dan keTuhananNya tidak dapat dipahami.

Ø Al-Qusyairi menjelaskan bahwa maksud para sufi dari istilah makrifat adalah “sifat dari orang-orang yang mengenal Allah Swt.

Ø Nashral al-Din al-Thusi menjelaskan bahwa makrifat adalah derajat tertinggi pengetahuan tentang Allah Swt.


                               Bab III
                             PENUTUP


Perbedaan pendapat para sufi mengenai pengertian ahwal secara luas bahwa ahwal merupakan pengalaman mental sufi ketika menjelajah maqamat. Dua kata ‘maqamat dan ahwal’ dapat diibaratkan sebagai dua sisi mata uang yang selalu berpasangan. Namun urutannya tidak selalu sama antara sufi satu dengan yang lainnya. Perlu dipertegas disini bahwa menurut al-Sarraj, hal adalah anugerah (mawahibah) Allah yang diberikan kepada sang hamba sebagai hasil dari usaha dan perjuangannya di dalam menempuh maqamat. Maqam diusahakan, sementara hal tidak. Maqam sifatnya tetap dan permanen, sedangkan hal tidak tetap, datang dan pergi.

Cinta adalah maqom sebelum ridho yang berarti cinta hanya kepada Allah dengan melakukan segala perintahNya dan menjauhi laranganNya. Ridho adalah perpaduan dari sikap mahabbah dan sabar, menerima dengan lapang dada dan hati terbuka apa saja yang  dating dari Allah, baik dalam menerima serta mengamalkan ketentuan-ketentuan agama maupun yang berkenaan dengan masalah nasib dirinya. Maqom lainnya yaitu makrifat yang bermakna derajat tertinggi pengetahuan/sifat orang-orang yang mengenal Allah.

Referensi

Kadar. 2016.Gerbang Tasawuf. Perdana Publising.

Kartanegara, Mulyadi. 2006. Menyelami Lubuk Tasawuf.  Jakarta: Erlangga.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar